Seni
tato dan telinga panjang menjadi ciri khas atau identitas yang sangat
menonjol sebagai penduduk asli Kalimantan. Dengan ciri khas dan
identitas itulah yang membuat suku Dayak di kenal luas hingga dunia
internasional dan menjadi salah satu kebanggan budaya yang ada di
Indonesa. Namun tradisi ini sekarang justru semakin ditinggalkan dan
nyaris punah. Trend dunia fashion telah mengikis budaya tersebut .
Kalaupun ada yang bertahan, hanya sebagian kecil golongan generasi tua
suku Dayak yang berumur di atas 60 tahun. Generasi suku Dayak diatas
tahun 80-an bahkan generasi sekarang mengaku malu.
Di
Kalimantan Timur untuk bisa menemui wanita suku Dayak yang masih
mempertahankan budaya telinga panjang sangat sulit. Karena kini hanya
bisa ditemui dipedalaman Kalimantan Timur dengan menempuh jalur melewati
sungai yang memakan waktu berhari-hari. Karena gaya hidup suku Dayak
memang lebih akrab dengan hutan maupun gua.
Untuk melestarikan
budaya, tradsi maupun adat suku Dayak Pemerintah Kota Samarinda
membangun perkampungan budaya suku Dayak yang diberi nama Kampung Budaya
Pampang. Di desa ini ada sekitar 1000 warga suku Dayak yang masih
mempertahankan budaya, tradisi maupun adat.
Namun sayangnya
khusus untuk budaya telinga panjang hanya sedikit wanita suku Dayak saja
yang mempertahankannya. Lainnya telah memotong karena mengaku malu.
Wanita suku Dayak yang masih mempertahankan telinga panjang itu dan
tidak pernah keluar dari kampong itu, bahkan mereka pun hanya terlihat
saat ada kegiatan ataupun ucapacara adat.
Beberapa waktu lalu
saya berkesempatan mengunjungi desa Pampang dan berbincang-bincang
dengan nenek Meh (60) wanita suku Dayak yang masih mempertahankan budaya
telinga panjang itu.
Untuk bisa menuju Kampung Budaya Pampang,
memakan waktu sekitar 30 menit dari pusat Kota samarinda, karena
letaknya berjarak sekitar 20 km. Biaya yang dikeluarkan sekitar Rp 50
ribu. Sebenarnya suku Dayak yang tinggal di Kampung Pampang merupakan
sub-etnis Dayak Kenyah.
Semula kawasan tersebut merupakan hutan,
namun setelah warga Dayak Kenyah dari Desa Long , Apokayan, Kabupaten
Bulungan yang berjumlah 35 orang bermigrasi, kawasan itu kemudian
berkembang seperti sekarang ini. Kendati menerima budaya modern dari
luar, warganya tetap teguh mempertahankan tradisi sehingga perkampungan
ini dijadikan Kampung Budaya Pampang oleh Pemerintah Kota Samarinda.
Warga suku Dayak Kenyah di Pampang tetap mempertahankan budaya
leluhurnya, seperti menenun, mengukir, dan membuat aneka kerajinan
tangan. Di Kampung ini pun masih terdapat Lamin (rumah panjang khas
Dayak). Bagi para wisatawan yang ingin membeli souvenir, di Desa Pampang
banyak orang yang menjajakan berbagai pernak pernik dari yang kecil
hingga yang besar seperti gantungan kunci dan patung kayu.
Setiap hari libur, warga Dayak menggelar berbagai tarian tradisional di
Lamin antara lain Tari Kancet Lasan, Kancet Punan Lettu, Kancet Nyelama
Sakai, Hudog, Manyam, Pamung Tawai, Burung Enggang, dan tari Leleng.
PERTANDA WANITA BANGSAWAN
Menurut asal-usulnya ratusan tahun lalu, budaya telinga panjang bukan
hanya dilakukan wanita, pria juga ada yang memanjangkan telinga. Dan
yang memanjangkan telinga hanya kaum bangsawan suku Dayak. “Kalau dulu
hanya yang memiliki status social ataupun yang disebut bangsawan yang
memanjangkan telinga,” kata Moh dengan bahasa Indonesia yang
terbata-bata.
Moh pun mengaku tidak tahu kapan tepatnya suku
Dayak mulai memanjangkan telinga. Dirinya hanya tahu sejak ratusan tahu
lalu. “Saya pun memiliki telinga panjang ini karena orang tua yang
memasangkan gelang ini sejak masih bayi,” ucap, ibu enam anak ini.
Telinga panjang pada Wanita Dayak menunjukkan dia seorang bangsawan
sekaligus untuk membedakan dengan perempuan yang dijadikan budak karena
kalah perang atau tidak mampu membayar utang.
Disamping itu
telinga panjang digunakan sebagai identitas untuk menunjukkan umur
seseorang. Begitu bayi lahir, ujung telinga diberi manik-manik yang
cukup berat. Setiap tahun, jumlah manik-manik yang menempel di telinga
bertambah satu.
“Karena itu, kalau ingin mengetahui umur
seseorang, bisa dilihat dari jumlah manik-manik yang menempel di
telinga. Jika jumlahnya 60, maka usianya pasti 60 tahun karena
pemasangan manik-manik tidak bisa dilakukan sembarangan, cuma setahun
sekali,” ucap Moh lagii
Teling panjang juga memiliki makna
dimana untuk melatih kesabaran. “Bayangkan saja, betapa beratnya
manik-manik yang tergantung di telinga, tetapi, karena dipakai setiap
hari, kesabaran dan rasa penderitaan mereka menjadi terlatih,”
terangnya.
Agar daun telinga menjadi panjang, biasanya daun
telinga diberi pemberat berupa logam berbentuk lingkaran gelang atau
berbentuk gasing ukuran kecil. Dengan pemberat ini daun telinga akan
terus memanjang hingga beberapa sentimeter.
Moh menuturkan,
selain status social, wanita suku Dayak yang memanjangkan telinga karena
dianggap cantik. “Makin panjang telinga, maka akan semakin cantiklah
wanita Dayak,” terang wanita yang tak pernah mengenyam pendidikkan ini .
MULAI PUNAH
Yang masih mempertahankan budaya telinga panjang kini tinggal sedikit.
Mereka yang asalnya bertelinga panjang secara sengaja memotong ujung
daun telinga mereka. Alasan yang sering dikemukakan, takut dianggap
ketinggalan zaman atau khawatir anak-anak mereka merasa malu.
Dikatakan Moh, mulai punahnya budaya telinga panjang, menurut cerita
yang ia tahu ketika mulai masuknya para misionaris ke daerah pedalaman
di perkampungan Dayak pada zaman kolonial Belanda dulu.
Meski ia
tak tahu persisnya kapan mulai punah, tapi rata-rata yang masih
mempertahankan budaya telinga panjang adalah wanita suku Dayak yang
berusia diatan 60 tahun. Sedangkan genersi sekarang sudah tidak ada.
Budaya ini pun semakin terkikis habis ketika terjadi konfrontasi antara
Indonesia dan Malaysia di daerah perbatasan Kalimantan.
Saat itu
berkembang stigma di masyarakat, mereka yang berdaun telinga panjang
dan tinggal di rumah- rumah panjang, yang dihuni beberapa keluarga,
merupakan kelompok masyarakat yang tidak modern. Tidak tahan terhadap
pandangan seperti itu, akhirnya beberapa warga memotong telinga
panjangnya.
Stigma semacam ini terus berlangsung hingga
sekarang. Kalangan generasi muda Dayak tidak mau lagi membuat telinga
panjang karena takut dianggap ketinggalan zaman dan tidak modern. Hanya
sebagian kecil masyarakat Dayak yang masih memegang teguh tradisi
berdaun telinga panjang, dan itu pun jumlahnya sangat minim.
TETAP AKAN MEMPERTAHANKAN
Namun hal itu tidak berlaku bagi Moh, ia tetap tidak akan mau memotong
telinganya yang kini telah panjang sekitar 30 cm. Bahkan ia merasa
bangga dan percaya diri dengan bertelinga panjang. Walaupun mendapat
desakan dari anak ataupun cucunya, Moh tak bergeming dan tetap
mempertahankan.
Dirinya mengakui, dengan telinga panjang, anak
maupun cucu nya merasa malu. Tapi ia tak peduli, baginya ini merupakan
tradisi yang akan dipertahankan hingga dirinya menghadap yang kuasa.
Apalagi ia menghormati leluhur dan pesan orang tuanya, agar telinga
panjang miliknya tidak dipotong.
Namun Moh memahami keinginan
anak maupun cucu nya, karenanya, wanita berkulit kuning langsat ini pun
tidak pernah bersama anak ataupun cucu nya jika ke Kota samarinda. Ia
pun bahkan hanya berdiam di rumah dan berladang, hanya muncul
sekali-kali jika ada kegiatan ucapara adat.
Moh juga tidak
pernah malu, jika terkadang mendapat cibiran ataupun ejekan dari warga
yang datang ke Kampung Pampang termasuk dari anak dan cucu nya. Justru
sering mendapat pujian dari masyarakat karena mempertahankan tradisi
itu. “Banyak yang kagum melihat telinga saya yang panjang,” tuturnya
sambil tertawa.
MENDATANGKAN REJEKI
Dengan telinganya yang panjang, Moh justru menghasilkan rejeki. Sejak
Kampung Pampang ditetapkan sebagai desa budaya oleh Pemerintah Kota
Samarinda, membawa keuntungan bagi Moh. Pasalnya Pampang setiap hari
Minggu selalu didatangi wisatawan domestik maupun mancanegara.
Setiap hari Minggu, pukul 14.00 hingga 16.00 wita, biasanya digelar
acara budaya yang menampilkan berbagai tarian Dayak, bertempat di rumah
panjang khas Dayak. Tarian yang biasa ditampilkan, yakni tari Kancet
Lasan, Kancet Punan Lettu, Kancet Nyelama Sakai, Hudog, Manyam, Pamung
Tawai, Burung Enggang, dan tari Leleng.
Kehadiran wisatawan
maupun pengunjung itulah yang membawa berkah. Pasalnya setiap pengunjung
selalu meminta foto bersama. Kesempatan itulah digunakan Moh, untuk
meraup rejeki. Tarif yang dipasangnya untuk sekali berfoto Rp 25 ribu.
“Yah lumayan untuk menambah biaya hidup,” ujar wanita yang tak bisa
membaca ini.
Setiap Minggu, Moh bisa menghasilkan hingga ratusan
ribu rupiah dari hasil foto bersama pengunjung. Selain itu dirinya juga
mendapat honor dari pertunjukkan menari dihadapan pengunjung.
Disamping itu beberapa daerah kerap memakai dirinya saat ada agenda
kunjungan pejabat pusat hingga presiden. Begitu juga jika ada acara
nasional yang di selenggarakan di Kalimantan Timur, termasuk launching
beberapa perusahaan dan produk local.
DIANGGAP KETINGGALAN JAMAN
Menarik mendengar tanggapan salah satu cucu Moh, Ayan Abel yang sempat
berbincang- bincang dengan saya. Gadis remaja yang kini duduk di bangku
SMP ini menuturkan budaya telinga pajang tidak modern alias sangat
ketingalan zaman.
Ia pun mengaku dengan memiliki telinga
panjang, wanita tidak akan terlihat cantik. Saat ini kata Abel, wanita
Dayak juga dituntut untuk juga mengikuti dunia fesyen yang sedang kian
trend setiap tahunnya.
Abel mengakui dirinya sempat minder
memiliki nenek, dengan telinga panjang. Dirinya bahkan beberapa kali
menganjurkan agar neneknya memotong telinga, namun sang nenek tak
bergeming dan tetap dengan telinga panjangnya.
“Kata nenek
dengan telinga panjang akan terlihat cantik, tapi itu kan menurut
tradisi dulu dan sekarang tidak mungkin, justru kalau dengan penampilan
seperti itu akan membuat malu, kalau harus jalan-jalan (mejeng),” aku,
gadis berparas cantik ini.
Meski Abel menentang, namun dalam
hatinya bisa memahami, hanya saja tuntutan zaman yang dianggap tidak
sesuai lagi. “Yah mau apalagi, karena tradisinya sudah seperti itu, yang
pasti saya mungkin tidak pernah jalan bersama nenek ke mall dengan
kondisi seperti itu, meski saya juga merasa bangga,” tandasnya. (teddy
rumengan/berbagai sumber)
original source :
www.kompasiana.com