Minggu, 16 Juni 2013

Kehidupan Suku Dayak Punan Sebagai suku dayak yang masih primitif



   narasumber ; websitekompas
Punan adalah salah satu rumpun suku Dayak yang terdapat di Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Timur. Dayak Punan juga tersebar di Sabah dan Serawak, Malaysia Timur yang menjadi bagian dari Pulau Kalimantan. Populasinya paling banyak ditemukan di Kalimantan Timur diperkirakan berjumlah 8.956 jiwa suku Punan yang tersebar pada 77 lokasi pemukiman. Punan sendiri memiliki 14 sub rumpun diantaranya Punan Hovongan, Punan Uheng Kereho dan Punan Kelay. Dihitung dari populasi keberadaan Dayak Punan ini kian tahun kian menurun bahkan cendrung punah. Tetapi walau demikian mereka tetap saja tak pula berubah dengan pola adat istiadad dari leluhur mereka yang dipercayai.

ASAL USUL

Dalam riwayat atau cerita, leluhur mereka ini asal-usulnya datang dari negeri yang bernama “Yunan “ sebuah daerah dari daratan Cina. Mereka berasal dari keluarga salah satu kerajaan Cina yang kalah berperang yang kemudian lari bersama perahu-perahu, sehingga sampai ke tanah Pulau Kalimantan. Karena merasa aman, mereka lalu menetap di daratan tersebut.

SUKU PRIMITIF


Dari keseluruhan Suku Dayak, orang Punan inilah yang paling terbelakang baik budaya maupun kehidupan mereka. Secara umum mereka ini agak primitif dengan tinggal di goa-goa anak anak sungai dan lain sebagainya. Mereka juga tak mengenal pakaian bagus dan kemajuan zaman. Lebih aneh lagi dari kehidupan masyarakat Punan ini adalah secara umum mereka merasa takut dan alergi terhadap Sabun . Entah apa sebabnya tak ada yang mengetahui secara pasti.

Keadaan hidup primitif ini membawa mereka selalu berpindah pindah dari satu tempat ke lain tempat dan terus menghindar dari kelompok manusia lain. Dalam kepercayaan mereka para leluhur lah yang menghendaki demikian. Dengan banyak tanda yang diberikan semisal ada diantara mereka yang meninggal. Setelah dikubur, serentak mereka berpindah menuju daerah lain. Mereka sangat percaya kalau roh yang meninggal akan bergentayangan membuat mereka tak akan merasa tenteram. Warga Punan ini disebut juga warga pengembara dan hidup dalam satu kelompok tanpa berpisah pisah.

Mereka juga senang dengan makanan yang masih mentah seperti sayur sayuran hutan yang berasal dari pohon nibung atau banding (teras dala). Begitu pula dengan daun pakis, atau labu hutan yang memang banyak terdapat. Soal beras tak terlalu perlu bagi mereka. Makanan utama mereka adalah umbi dan umbut umbutan hutan, ditambah dengan daging buruan yang mereka temukan. Untuk daging inipun jarang mereka masak. Jika ada binatang buruan yang didapat mereka lebih suka menjemur daging-daging tersebut di matahari panas sehingga menjadi daging asinan atau dendeng.

JAGO BERPERANG


Konon, orang Punan jaman dahulu sangat ditakuti oleh suku Dayak lainnya karena mampu berperang dengan baik. Sebagai “pemburu kepala” atau “ngayau” (dalam bahasa Inggris diistilahkan head hunter). Termasuk dalam kategori suku kanibal karena mempunyai kebiasaan memenggal, memakan hati dan isi perut lawannya adalah hal yang lumrah mereka lakukan. Mereka juga punya kebiasaan memakan bagian punggung kanan musuhnya yang tewas dalam perang karena bagian tubuh itulah yang diyakini paling enak dimakan.

Dalam keseharian mereka selalu waspada dan siap berkelahi dengan siapapun, termasuk binatang-binatang ganas di dalam hutan. Tradisi siap tempur ini diwarisi semenjak nenek moyang mereka sebagaimana diceritakan di atas tadi. Mereka memiliki ilmu bela diri yang sangat tangguh dan berbeda dengan ilmu bela diri secara umum yang ada di masyarakat. Mungkin ilmu bela diri yang mereka miliki adalah ilmu yang mereka bawa dari daratan Cina asal-usul leluhur mereka.

AKTIVITAS EKONOMI




Kehidupan dan kerja mereka sehari-hari berdasarkan limpahan kasih dari alam. Memang mereka bisa juga berhubungan dagang dengan masyarakat umum, tetapi tidak ditukar dengan uang namun dilakukan secara barter (Pertukaran). Yang dibawa mereka adalah seperti rotan, damar, kayu gaharu, sarang wallet. Yang dibarter dengan garam, gula, tembakau atau rokok. Dan ada pula kain kainan.

Cara penukaran barangpun tidak langsung bertemu dengan orangnya, melainkan barang barang yang dibawa diletakkan disuatu tempat yang tersedia. Setelah barang mereka diambil dan dibayar pula dengan barang yang dibutuhkan mereka. Setelah yakin pengantar barang sudah tidak ada, maka barulah mereka mengambil barang yang menjadi milik mereka.

Senin, 03 Juni 2013

AKANKAH MUSIM BUAH DI TANAH KAYONG DAPAT TERUS ADA HARAPAN



Mengapa saya katakan sebagai kebanggaan karna, semakin hari kalimantan terutama daerah saya sudah mulai tergerus jaman banyak perusahaan sawit mulai memasuki pedesaan kampung satu persatu kampung mulai menyetujui datangnya sawit.
Bukan salah mereka bila sawit masuk dan kelak mereka tidak merasakan lagi bagaimana nikmat hasil hutan terutama bila tak dapat mendapatkan uang masyarakat masih dapat makan dari hasil hutan alam yang berlimpah masyarakat tidak perlu bersusah payah menjadi buruh sawit di tanahnya sendiri sungguh malang menjadi buruh di tanah sendiri bumi kalimantan menangis
Kalau berbicara tentang kebanggan suku dayak kayong itu di saat musim buah tiba , masyarakat
Riam batu,tanjung asam,batu-bulan,betenung,sebunyaw,sekembar,tebuar atau lebih kita singkat kayong  tujuh.. berbondong bondong mencari buah ke bukit.. tapi itu dulu sekarang tinggal beberapa desa saja yang dapat mempertahankan hutannya separuhnya tak dapat menikmati lagi hasil hutan

ungkapan penulis karya ; kvn Arie
narasumber photos : facebook andika pasti

Selasa, 16 April 2013

Dayak Kayong




Kayong adalah nama sungai yang memanjang dari timur ke arah barat Ibukota Kecamatan Nanga Tayap. Di sepanjang sungai ini terdapat kelompok masyarakat yang menamakan identitas kelompoknya sebagai Dayak Kayong atau orang Kayong.
Kelompok masyarakat penutur bahasa Kayong yang bermukim di aliran Sungai Kayong dan sekitarnya meliputi Kampung Sekembar, Betenung, Sungai Demit, Batu Bulan, Tanjung Asam, dan Riam Batu. Sedangkan hunian kelompok penutur bahasa Kayong yang letak geografisnya jauh dari sungai Kayong ialah Kampung Tebuar. 

bukong kayong
 adalah sukarelawan pada adat kematian orang suku dayak kayong .bukong adalah adat yang dilakukan dengan sukarela yang mendiami muara,tepian , hulu kayong dan  sekitarnya
bukong tersebut "DI RAJAH" terlebih dahulu ataw di beri kekuatan gaib konon ruh bukong lah yang mengantar orang mati hingga sampay ke sebayan tujoh surga dalam "BUKIT MANGKOK" masyarakat dayak kayong.
Penutur bahasa Kayong diperkirakan berjumlah 4.148 jiwa. Kelompok masyarakat yang menamakan dirinya orang Kayong ini menyimpan legenda yang menggambarkan bahwa kelompok masyarakat merupakan orang yang berasal dari Kayangan. Oleh sebab itu, sungai yang mengaliri wilayah hunian suku ini disebut Sungai Kayong. 
jadi intinya kebanyakan dari orang-orang banyak yang mengklaim daerah mereka sebagai dayak kayong ,dan saya telah menguak semuanya dimana sebanarnya tempat suku dayak kayong itu bermukim yaitu terletak di aliran sungay kayong dan salah satu kampung yang cukup besar disitu adalah "betenung".

salam....
narasumber artikel by wikipedia insklopedia
story   by   kvn ARie bujang batu bulan kayong

Punahnya Budaya Telinga Panjang Wanita Suku Dayak

 

Oleh : Teddy Rumengan

Seni tato dan telinga panjang menjadi ciri khas atau identitas yang sangat menonjol sebagai penduduk asli Kalimantan. Dengan ciri khas dan identitas itulah yang membuat suku Dayak di kenal luas hingga dunia internasional dan menjadi salah satu kebanggan budaya yang ada di Indonesa. Namun tradisi ini sekarang justru semakin ditinggalkan dan nyaris punah. Trend dunia fashion telah mengikis budaya tersebut . Kalaupun ada yang bertahan, hanya sebagian kecil golongan generasi tua suku Dayak yang berumur di atas 60 tahun. Generasi suku Dayak diatas tahun 80-an bahkan generasi sekarang mengaku malu.
Di Kalimantan Timur untuk bisa menemui wanita suku Dayak yang masih mempertahankan budaya telinga panjang sangat sulit. Karena kini hanya bisa ditemui dipedalaman Kalimantan Timur dengan menempuh jalur melewati sungai yang memakan waktu berhari-hari. Karena gaya hidup suku Dayak memang lebih akrab dengan hutan maupun gua.
Untuk melestarikan budaya, tradsi maupun adat suku Dayak Pemerintah Kota Samarinda membangun perkampungan budaya suku Dayak yang diberi nama Kampung Budaya Pampang. Di desa ini ada sekitar 1000 warga suku Dayak yang masih mempertahankan budaya, tradisi maupun adat.
Namun sayangnya khusus untuk budaya telinga panjang hanya sedikit wanita suku Dayak saja yang mempertahankannya. Lainnya telah memotong karena mengaku malu. Wanita suku Dayak yang masih mempertahankan telinga panjang itu dan tidak pernah keluar dari kampong itu, bahkan mereka pun hanya terlihat saat ada kegiatan ataupun ucapacara adat.
Beberapa waktu lalu saya berkesempatan mengunjungi desa Pampang dan berbincang-bincang dengan nenek Meh (60) wanita suku Dayak yang masih mempertahankan budaya telinga panjang itu.
Untuk bisa menuju Kampung Budaya Pampang, memakan waktu sekitar 30 menit dari pusat Kota samarinda, karena letaknya berjarak sekitar 20 km. Biaya yang dikeluarkan sekitar Rp 50 ribu. Sebenarnya suku Dayak yang tinggal di Kampung Pampang merupakan sub-etnis Dayak Kenyah.
Semula kawasan tersebut merupakan hutan, namun setelah warga Dayak Kenyah dari Desa Long , Apokayan, Kabupaten Bulungan yang berjumlah 35 orang bermigrasi, kawasan itu kemudian berkembang seperti sekarang ini. Kendati menerima budaya modern dari luar, warganya tetap teguh mempertahankan tradisi sehingga perkampungan ini dijadikan Kampung Budaya Pampang oleh Pemerintah Kota Samarinda.
Warga suku Dayak Kenyah di Pampang tetap mempertahankan budaya leluhurnya, seperti menenun, mengukir, dan membuat aneka kerajinan tangan. Di Kampung ini pun masih terdapat Lamin (rumah panjang khas Dayak). Bagi para wisatawan yang ingin membeli souvenir, di Desa Pampang banyak orang yang menjajakan berbagai pernak pernik dari yang kecil hingga yang besar seperti gantungan kunci dan patung kayu.
Setiap hari libur, warga Dayak menggelar berbagai tarian tradisional di Lamin antara lain Tari Kancet Lasan, Kancet Punan Lettu, Kancet Nyelama Sakai, Hudog, Manyam, Pamung Tawai, Burung Enggang, dan tari Leleng.
PERTANDA WANITA BANGSAWAN
Menurut asal-usulnya ratusan tahun lalu, budaya telinga panjang bukan hanya dilakukan wanita, pria juga ada yang memanjangkan telinga. Dan yang memanjangkan telinga hanya kaum bangsawan suku Dayak. “Kalau dulu hanya yang memiliki status social ataupun yang disebut bangsawan yang memanjangkan telinga,” kata Moh dengan bahasa Indonesia yang terbata-bata.
Moh pun mengaku tidak tahu kapan tepatnya suku Dayak mulai memanjangkan telinga. Dirinya hanya tahu sejak ratusan tahu lalu. “Saya pun memiliki telinga panjang ini karena orang tua yang memasangkan gelang ini sejak masih bayi,” ucap, ibu enam anak ini.
Telinga panjang pada Wanita Dayak menunjukkan dia seorang bangsawan sekaligus untuk membedakan dengan perempuan yang dijadikan budak karena kalah perang atau tidak mampu membayar utang.
Disamping itu telinga panjang digunakan sebagai identitas untuk menunjukkan umur seseorang. Begitu bayi lahir, ujung telinga diberi manik-manik yang cukup berat. Setiap tahun, jumlah manik-manik yang menempel di telinga bertambah satu.
“Karena itu, kalau ingin mengetahui umur seseorang, bisa dilihat dari jumlah manik-manik yang menempel di telinga. Jika jumlahnya 60, maka usianya pasti 60 tahun karena pemasangan manik-manik tidak bisa dilakukan sembarangan, cuma setahun sekali,” ucap Moh lagii
Teling panjang juga memiliki makna dimana untuk melatih kesabaran. “Bayangkan saja, betapa beratnya manik-manik yang tergantung di telinga, tetapi, karena dipakai setiap hari, kesabaran dan rasa penderitaan mereka menjadi terlatih,” terangnya.
Agar daun telinga menjadi panjang, biasanya daun telinga diberi pemberat berupa logam berbentuk lingkaran gelang atau berbentuk gasing ukuran kecil. Dengan pemberat ini daun telinga akan terus memanjang hingga beberapa sentimeter.
Moh menuturkan, selain status social, wanita suku Dayak yang memanjangkan telinga karena dianggap cantik. “Makin panjang telinga, maka akan semakin cantiklah wanita Dayak,” terang wanita yang tak pernah mengenyam pendidikkan ini .
MULAI PUNAH
Yang masih mempertahankan budaya telinga panjang kini tinggal sedikit. Mereka yang asalnya bertelinga panjang secara sengaja memotong ujung daun telinga mereka. Alasan yang sering dikemukakan, takut dianggap ketinggalan zaman atau khawatir anak-anak mereka merasa malu.
Dikatakan Moh, mulai punahnya budaya telinga panjang, menurut cerita yang ia tahu ketika mulai masuknya para misionaris ke daerah pedalaman di perkampungan Dayak pada zaman kolonial Belanda dulu.
Meski ia tak tahu persisnya kapan mulai punah, tapi rata-rata yang masih mempertahankan budaya telinga panjang adalah wanita suku Dayak yang berusia diatan 60 tahun. Sedangkan genersi sekarang sudah tidak ada. Budaya ini pun semakin terkikis habis ketika terjadi konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia di daerah perbatasan Kalimantan.
Saat itu berkembang stigma di masyarakat, mereka yang berdaun telinga panjang dan tinggal di rumah- rumah panjang, yang dihuni beberapa keluarga, merupakan kelompok masyarakat yang tidak modern. Tidak tahan terhadap pandangan seperti itu, akhirnya beberapa warga memotong telinga panjangnya.
Stigma semacam ini terus berlangsung hingga sekarang. Kalangan generasi muda Dayak tidak mau lagi membuat telinga panjang karena takut dianggap ketinggalan zaman dan tidak modern. Hanya sebagian kecil masyarakat Dayak yang masih memegang teguh tradisi berdaun telinga panjang, dan itu pun jumlahnya sangat minim.
TETAP AKAN MEMPERTAHANKAN
Namun hal itu tidak berlaku bagi Moh, ia tetap tidak akan mau memotong telinganya yang kini telah panjang sekitar 30 cm. Bahkan ia merasa bangga dan percaya diri dengan bertelinga panjang. Walaupun mendapat desakan dari anak ataupun cucunya, Moh tak bergeming dan tetap mempertahankan.
Dirinya mengakui, dengan telinga panjang, anak maupun cucu nya merasa malu. Tapi ia tak peduli, baginya ini merupakan tradisi yang akan dipertahankan hingga dirinya menghadap yang kuasa. Apalagi ia menghormati leluhur dan pesan orang tuanya, agar telinga panjang miliknya tidak dipotong.
Namun Moh memahami keinginan anak maupun cucu nya, karenanya, wanita berkulit kuning langsat ini pun tidak pernah bersama anak ataupun cucu nya jika ke Kota samarinda. Ia pun bahkan hanya berdiam di rumah dan berladang, hanya muncul sekali-kali jika ada kegiatan ucapara adat.
Moh juga tidak pernah malu, jika terkadang mendapat cibiran ataupun ejekan dari warga yang datang ke Kampung Pampang termasuk dari anak dan cucu nya. Justru sering mendapat pujian dari masyarakat karena mempertahankan tradisi itu. “Banyak yang kagum melihat telinga saya yang panjang,” tuturnya sambil tertawa.
MENDATANGKAN REJEKI
Dengan telinganya yang panjang, Moh justru menghasilkan rejeki. Sejak Kampung Pampang ditetapkan sebagai desa budaya oleh Pemerintah Kota Samarinda, membawa keuntungan bagi Moh. Pasalnya Pampang setiap hari Minggu selalu didatangi wisatawan domestik maupun mancanegara.
Setiap hari Minggu, pukul 14.00 hingga 16.00 wita, biasanya digelar acara budaya yang menampilkan berbagai tarian Dayak, bertempat di rumah panjang khas Dayak. Tarian yang biasa ditampilkan, yakni tari Kancet Lasan, Kancet Punan Lettu, Kancet Nyelama Sakai, Hudog, Manyam, Pamung Tawai, Burung Enggang, dan tari Leleng.
Kehadiran wisatawan maupun pengunjung itulah yang membawa berkah. Pasalnya setiap pengunjung selalu meminta foto bersama. Kesempatan itulah digunakan Moh, untuk meraup rejeki. Tarif yang dipasangnya untuk sekali berfoto Rp 25 ribu. “Yah lumayan untuk menambah biaya hidup,” ujar wanita yang tak bisa membaca ini.
Setiap Minggu, Moh bisa menghasilkan hingga ratusan ribu rupiah dari hasil foto bersama pengunjung. Selain itu dirinya juga mendapat honor dari pertunjukkan menari dihadapan pengunjung.
Disamping itu beberapa daerah kerap memakai dirinya saat ada agenda kunjungan pejabat pusat hingga presiden. Begitu juga jika ada acara nasional yang di selenggarakan di Kalimantan Timur, termasuk launching beberapa perusahaan dan produk local.
DIANGGAP KETINGGALAN JAMAN
Menarik mendengar tanggapan salah satu cucu Moh, Ayan Abel yang sempat berbincang- bincang dengan saya. Gadis remaja yang kini duduk di bangku SMP ini menuturkan budaya telinga pajang tidak modern alias sangat ketingalan zaman.
Ia pun mengaku dengan memiliki telinga panjang, wanita tidak akan terlihat cantik. Saat ini kata Abel, wanita Dayak juga dituntut untuk juga mengikuti dunia fesyen yang sedang kian trend setiap tahunnya.
Abel mengakui dirinya sempat minder memiliki nenek, dengan telinga panjang. Dirinya bahkan beberapa kali menganjurkan agar neneknya memotong telinga, namun sang nenek tak bergeming dan tetap dengan telinga panjangnya.
“Kata nenek dengan telinga panjang akan terlihat cantik, tapi itu kan menurut tradisi dulu dan sekarang tidak mungkin, justru kalau dengan penampilan seperti itu akan membuat malu, kalau harus jalan-jalan (mejeng),” aku, gadis berparas cantik ini.
Meski Abel menentang, namun dalam hatinya bisa memahami, hanya saja tuntutan zaman yang dianggap tidak sesuai lagi. “Yah mau apalagi, karena tradisinya sudah seperti itu, yang pasti saya mungkin tidak pernah jalan bersama nenek ke mall dengan kondisi seperti itu, meski saya juga merasa bangga,” tandasnya. (teddy rumengan/berbagai sumber)


Written By Yohansen Borneo on Jumat, 24 Desember 2010 | Jumat, Desember 24, 2010

original source : www.kompasiana.com

Sabtu, 13 April 2013

Tanah Kayong

Tanah Kayong

adalah sebutan untuk Kabupaten Ketapang yang merupakan salah satu kabupaten paling selatan Kalimantan Barat. Daerah ini sudah mempunyai peradaban tua. Kerajaan Tanjungpura yang merupakan kerajaan tertua di kalbar berdiri di Ketapang. Mereka berpindah dari satu kota ke kota lainnya di kabupaten Ketapang ini. Ketapang dikenal juga dengan sebutan sebagai "tanah kayong", karena banyak orang orang pintar dan orang sakti berasal dari sini. Sehingga dulu orang berilmu selalu berasal dari bumi Kayong.



Sungai Muara Kayong

Menurut kepala Kantor Informasi dan PDE Ketapang Yudo Sudarto, nama kayong juga dikenal karena salah satu kecamatan, yaitu di Kecamatan Nanga Tayap mempunyai sungai yang bernama "Muara Kayong". Sedangkan di dalamnya ada sub suku dayak yang bernama Dayak Kayong yang mendiami sungai Kayong. Di kawasan ini dulunya juga berdiri pecahan Kerajaan Tanjungpura yang bernama Kartapura (terletak di desa Tanah Merah-Sei Kelik ). Kartapura adalah perpindahan dari Indralaya (Kec. Sandai). Di kawasan kartapura dan muara kayong inilah ada makam Ratu Pano, dan makam kuna lainnya yang menjadi situs sejarah kerajaan Tanjungpura.



LETAK TANAH KAYONG sebenarnya teletak Di Desa BETENUNG DAN SEKITARNYA YANG DAPAT DISINGKAT KAYONG TUJOH,,, , Kecamatan NAGA TAYAP,TANAH KAYONG Sendiri terbagi menjadi 7 bagian yang disebut dengan KAYONG 7,Diataranya :Desa BETENUNG,SEKEMBAR,TEBUAR,TANJUNG ASAM,RIAMBATU,BATU BULAN,SUNGAI DEMIT,ini yang sebenarnya yang merupakan tanah kayong,dan dan sungai kayong sendiri melintasi desa Tj.ASAM DAN SEKMBAR.



 

salam buat temen-temen  bujang dare kayong 7...ada rase kebanggaan ,,,,Ayo dengan berprestasi dalam bidang apa pun kita dapat kembalikan nama kayong kite...

salam biak batu bulan kayong(betenung)...terimaksih sudah mau berkunjung..

narasumber
by  id.wikipedia.org/wiki/Tanah_Kayong

Jumat, 12 April 2013

Kisah cinta burung Enggang


 http://ajimachmudi.files.wordpress.com/2010/10/eg3.jpg?w=219&h=300&h=300

 Mari kita simak..,,,!!BErsama
jika teman-teman ingin menjadi pangeran cinta atau kekasih yang setia, maka teman-teman sebaiknya belajar dari burung Enggang.
Kenapa?
Karena burung Enggang atau Rangkong adalah burung yang setia, Ia hanya mempunyai satu kekasih selama hidupnya.  Tidak ada kata selingkuh dalam hidupnya ataupun poligami. Cintanya hanya untuk istrinya, sayangnya tidak akan dibagi 2.
Sebenarnya banyak hewan yang monogami (hanya mempunyai satu pasangan selama hidupnya) seperti pinguin, burung makau, dan lain-lain. Namun burung Enggang ni mempunyai satu kelebihan. Cara bertelurnya merupakan suatu daya tarik tersendiri. Pada awal masa bertelur burung jantan membuat lubang yang terletak tinggi pada batang pohon untuk tempat bersarang dan bertelurnya burung betina. Hanya terdapat satu bukaan kecil yang cukup untuk burung jantan mengulurkan makanan kepada anak burung dan burung enggang betina. kemudian burung jantan dengan setia memberi makan burung betinanya melalui sebuah lubang kecil selama masa inkubasi, dan berlanjut sampai anak mereka tumbuh menjadi burung muda. Apabila anak burung dan burung betina tidak lagi muat dalam sarang, burung betina akan memecahkan sarang untuk keluar dan membangun lagi dinding tersebut, dan kedua burung dewasa akan mencari makanan bagi anak-anak burung. Dalam sebagian spesies, anak-anak burung itu sendiri membangun kembali dinding yang pecah itu tanpa bantuan burung dewasa.

    coba kita bayangkan seandainya ketika burung betina mengerami telurnya, burung jantan mati tertembak oleh pemburu. Apa yang akan terjadi pada burung betina? Burung betina akan menunggu burung jantan sampai burung betina mati kelaparan. Betapa tragisnya kehidupan sijanda Enggang yang ditinggal oleh kekasihnya.

Terkadang kita harus berguru kepada hewan, pada makhluk tuhan yang katanya tak berakal. Sangat banyak kasus perceraian, perselingkuhan, dan kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi. Hal tersebut adalah suatu fakta yang membuktikan bahwa kita tidak jauh lebih baik dari burung Enggang. Yah.. burung Enggang memang bisa menjadi salah satu referensi untuk belajar menjadi pasangan yang setia.
Enggang termasuk dalam kelompok Bucerotidae ini memiliki sekitar 57 spesies yang tersebar di seluruh dunia dan bisa hidup selama 35 tahun. 14 dari 57 spesies tersebut terdapat di Indonesia. Di luar Indonesia, spesies burung langka ini dikenal dengan nama hornbill, karena ciri khas pada paruhnya yang mempunyai bentuk menyerupai tanduk sapi. Nama ilmiahnya, “Bucerotidae” mempunyai arti “tanduk sapi” dalam bahasa Yunani.. Uniknya, Enggang jantan memiliki mata berwarna merah, sedangkan sang betina bermata putih. Makanannya terutama buah-buahan juga kadal, kelelawar, tikus, ular dan berbagai jenis serangga.
Burung Enggang saat ini sudah mulai langka. Hal itu disebabkan oleh maraknya ilegal logging dan perburuan. Sebagaimana kita tahu kalau burung Enggang membuat sarang dipohon-pohon besar. Sehingga apabila pohon-pohon besar ditebang burung Enggang akan kesulitan mencari sarang untuk tempat tinggalnya.
So…
mari kita peduli terhadap hutan kita and stop ilegal logging.
salam konservasi (^_^)9
narasumber
By : ichiversity
bersama ; kvn ARie biak batu bulan kayong (betenung) salam,,,,
terima kasIH suadah mengunjungi BLOG saya...(blog doan)"

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | SharePoint Demo